Egoku ditampar Melki

Siang di sekolah, bersiap aku untuk pulang, ada yang tidak beres dengan standar sepedaku, longgar. Tiap kali di naikkan, standar akan kembali turun. Ahh..biarlah, batinku. Jadi segera aku naiki sepeda dan mulai mengayuh, tepat Melki berteriak dari belakang


“Ma, standar!!” Melki berlari ke arahku, satu tangannya memegang mika bekas biskuit dan ditempelkan di telinga kanan sambil pura-pura menelpon.


“iya, biar saja” jawabku. Aku kemudian berhenti dan menengok ke bawah, ahh masih bisa dipakai. Jadi, aku putuskan untuk melanjutkan kayuhan, tapi, Melki memperbaiki posisi standar sepedaku sambil berjongkok.

“eh..biar sudah melki, sudah rusak memang, sebentar sa baru perbaiki.”


Melki bangkit kemudian membaca tulisan di tas samping ku, “Berani dan Tidak Putus Asa, berarti harus selalu tegar, tidak mengeluh.” Katanya.

“iya” jawabku singkat. Langsung ku kayuh sepedaku lagi.


Dari belakang Melki berteriak lagi
“Saya ikut e? Saya kawal Ma e?”


“ eh biar su Melki, saya bisa pulang sendiri”


“ee tidak, saya mau kawal Ma.”


Kubiarkan dia berlari mengejar mengimbangi laju sepedaku, dalam hatiku muncul rasa malu, kenapa pula Melki ikut saya, bagaimana kalau nanti dia ikut sampai kos, bagaimana kalau orang lihat, bagaimana kalau dia tidak mau pulang dan terus mengikuti?”


Sepanjang jalan melki mengusir anjing yang menggonggong tiap kali sepeda melintas, juga menyingkirkan dahan patah di sepanjang jalan.Sesekali dia berbicara sendiri seolah menjawab telepon mika biscuit yang tidak lepas dari telinga kanan nya. Dengan terengah dia terus mengikuti ku meski berulang kali aku bilang

“Melki, jangan ikuti saya, saya bisa pulang sendiri!”


“biar, tidak apa apa Ma” jawabnya.


Hiii..aku kesal, belum lagi orang-orang tertawa dari depan rumah mereka ketika melihatku bersepeda dan melki berlari di belakang ku, aku makin kesal.


Hampir sampai di simpang gereja, jalanan mulai halus. Sebelum mengganti kombinasi kecepatan sepeda aku sampaikan kepada Melki tanpa berhenti.


“Melki, saya mau lari, jangan ikut e, jangan ikut!” nadaku satu oktaf  lebih tinggi.

” Dah Melki”


“Dah Ma” jawabnya lirih.

Tepat di depan simpang gereja Melki berhenti mengikutiku, aku lega.
Di sisa perjalanku pulang aku berfikir,
Aku senang jika akun social media ku di ikuti oleh banyak orang, apalagi oleh orang yang menurutku penting atau terkenal di kalangan pengguna media social.

Aku senang jika orang mengikuti cara berfikirku, setuju dengan apa yang aku katakan.
Tapi kenapa aku kesal diikuti oleh Melki, bukankah Melki juga ciptaanNya? Bukankah Melki serupa dan segambar denganNya? Kali ini ego ku tertampar. Terimakasih Melki, sudah menamparku.

image

Diterbitkan oleh Sulis Abdullah

Sahabat2 saya bilang kalau saya banyak bicara, ahh...sebetulnya saya pendiam dan pemalu, feminim dan lugu. tapi jika anda percaya saya, berarti anda menduakan Tuhan. salam sahabat!

Tinggalkan komentar