One day trip Wae Rebo (end part)

Pukul 12.00 WITA. Aku sudah tidak dapat lagi berkata, impianku terwujud hari ini, jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, dadaku terasa lapang, lelahku terbayar, ujung mataku basah, hanya bisa menatap rumah-rumah kerucut dengan atap alang menghitam, tanduk kerbau di tiap puncaknya, rumput hijau terpangkas rapih, kabut tipis menerpa bukit hijau tua di belakang rumah, altar lingkaran berada di tengah seakan menjadi poros kampung ini. Terimakasih Tuhan, terimakasih semesta mengijinkanku menatap langsung Wae Rebo.

Kami diterima di rumah Utama atau rumah Gendang, rumah yang menghadap persis di depan altar dan piramida dari batu yang disusun, di rumah Gendang ini kami melakukan adat terlebih dahulu, dengan memberikan mahar seikhlasnya, sang ketua adat, seorang kakek kira-kira berusia lebih dari 70 tahun, mengenakan penutup kepala seperti peci namun berbahan dasar kain tenun dan sarung Manggarai kotak-kotak kecil.

Beliau bersila tepat di tengah rumah gendang di depan perapian, aku, temanku dan Ino duduk di atas tikar pandan di sekeliling diameter rumah lingkaran ini. Ikut melipat kaki.

Dengan bahasa daerah ketua adat memulai adat, setelah ku menyerahkan mahar kepadanya dan mengatakan asal kami. Kurang lebih begini artinya:

Nenek moyang, leluhur Wae Rebo, perkenalkan mereka adalah tamu kami yang berasal dari Jawa, mereka sudah meminta izin dengan baik dan sudah memberikan mahar kepada kami di kampung ini, izinkanlah mereka untuk bertamu disini, jagalah mereka selama berkunjung di desa ini, apabila mereka melakukan hal yang tidak berkenan di hati leluruh, maka maafkanlah. Dan apabila mereka kembali ke Jawa meninggalkan desa ini, tolong leluhur kami atapun hal yang tidak baik jangan ikut serta bersama mereka.

Acara adat selesai, kami baru diperbolehkan mengambil gambar atau pun merekam video. Di rumah Gendang atau rumah utama ini terdapat 8 kamar di sekeliling ruangan, masing-masing kamar untuk satu kepala keluarga. Dari sisi tempat ku duduk aku menebar pandangan ke sekililing, gendang dan gong yang tergantung di tiang bagian depan dan atap yang menghitam terkena api setiap hari serta jerigen air dan 2 orang nenek yang terlihat masih sehat meski rambutnya memutih dan badannya sudah membungkuk terlihat sedang menikmati seduhan kopi.

Oleh seorang pemuda (aku lupa menanyakan namanya, mari kita sebut dia kakak), kami diantar menuju Rumah Tamu, Rumah Tamu adalah rumah paling kanan di desa adat wae Rebo, rumah tamu tidak sebesar Rumah Gendang, dan tidak terdapat kamar-kamar, hanya tikar pandan yang berjejer rapih di sekeliling dinding alang dan beberapa bantal dari pandan yang diperuntukan untuk alas duduk.

Di rumah ini kami disuguhi kopi Manggarai, kopi yang ditanam sendiri oleh penduduk Wae Rebo dan pengolahannya pun masih manual, dengan ditumbuk menggunakan lesung.

Setelah minum kopi, kami disuguhi makan siang, dengan menu hasil panen Wae Rebo, yakni nasi, sayur labu siyam dan pucuk labu kuning, krupuk yang terbuat dari singkong tanpa garam (ini enak banget) dan telur dadar. Makanan dibawa dari dapur yang terdapat di belakang, terpisah dari ruang tamu.

Selesai makan, aku dan Ino segera berfoto dari atas bukit, untuk bisa melihat secara keseluruhan Wae Rebo, beberapa pemuda nampak menggotong kursi plastik dari TPS yang terdapat di bawah desa Wae Rebo yang ternyata daftar pemilihnya mencapai 120 pemilih.

Di dahan pohon jeruk sudah ada bapak setengah baya sedang memanen jeruk, anak kecil memunguti jeruk yang berjatuhan, mama dengan rambut terikat dan bersarung sedang menjemur kopi hasil panen, seorang bapak menguliti kopi di sampingnya.

Kakek yang lebih berumur terlihat sedang memikul kayu bakar yang ia kumpulkan. Betapa sederhana desa ini, batinku.

Satu pelajaran kudapat dari perjalanan ini, dengan mengunjungi tempat baru, sudah tentu kita menemukan banyak hal baru, teman, kenalan, pengetahuan, pengalaman dan yang terpenting pemikiran kita yang semakin terbuka. Bukan mencari mana yang terbaik, melainkan melihat setiap kebaikan dari semua yang terlewati.

Setelah berfoto dan beristirahat, kami memutuskan untuk berpamitan, dan kembali ke Ruteng. Perjalanan pulang selalu terasa lebih ringan daripada saat pergi, menyiapkan lutut untuk menahan laju kaki yang tak terkendali dan mengantisipasi terpeleset karena batuan yang licin.

Kami mulai berjalan pukul 14.00 WITA, berpapasan dengan beberapa rombongan yang kesemuanya berasal dari luar NTT dan bahkan luar negeri. Perjalanan turun diwarnai banyak cerita yang notabene tidak bisa kami lakukan saat perjalanan mendaki, energi kami terkuras untuk mengatur nafas.

Pukul 15.30 WITA tepat kami sampai di pos polhut/ pos 1, bertemu dengan belasan turis asing yang baru akan memulai pendakian. Meminta foto dengan bermodalkan bahasa inggris yang broken (kata Prof. Karjo), dan kami kembali melaju diatas motor menuju Ruteng.

Pukul 19.08 WITA kami tiba di Ruteng, dinginnya tanpa ampun. Malam itu juga aku memutuskan untuk memesan travel, menuju dermaga Aimere, mengejar KMP Inerie yang akan membawaku kembali ke Sumba.

Video perjalanan ke negeri diatas awan bisa cek disini https://www.instagram.com/p/BxDhj6aA8NH/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=4ottrdq8mtct

Diterbitkan oleh Sulis Abdullah

Sahabat2 saya bilang kalau saya banyak bicara, ahh...sebetulnya saya pendiam dan pemalu, feminim dan lugu. tapi jika anda percaya saya, berarti anda menduakan Tuhan. salam sahabat!

2 tanggapan untuk “One day trip Wae Rebo (end part)

Tinggalkan komentar